Islam merupakan agama yang penuh rahmat dan terdapat kemudahan dalam pengamalannya. Pasalnya, dalam prinsipnya agama itu mudah atau mempermudah urusan manusia bukan sebaliknya mempersulit hingga menjadi beban bagi manusia.
Dalam konteks ibadah fardhu (wajib) seperti shalat, misalnya, yang merupakan tiang agama dan rukun Islam yang kedua maka terdapat kemudahan dalam pelaksanaanya. Apabila seorang muslim tidak mampu melaksanakan shalat dengan berdiri, diperbolehkan baginya shalat dengan cara duduk. Apabila tidak bisa duduk, boleh baginya shalat dengan cara berbaring (tidur menyamping menghadap kiblat ataupun terlentang jika tidak mampu). Bahkan, apabila masih tidak mampu juga mungkin karena sakit parah yang seseorang itu derita, ia pun masih bisa menunaikan kewajiban shalatnya meski dengan isyarat kedipan mata sekalipun. Masya Allah, Allahu Akbar betapa rahman dan rahimnya Allah kepada hamba-hamba-Nya dalam mempermudah perkara kewajiban ibadah kepada-Nya.
Termasuk dalam hal ini juga adalah saum Ramadan. Pada bulan suci Ramadan ini seluruh umat Islam yang sudah baligh (mukallaf) diwajibkan untuk berpuasa. Namun, terdapat keringanan atau kemudahan bagi yang tidak mampu menunaikan kewajiban saum/puasa di bulan suci yang penuh berkah ini. Apa keringanan tersebut dan bagaimana cara pelaksanaannya?
Seorang muslim yang tidak mampu menunaikan puasa Ramdan dengan uzur syari maka ia pun diperbolehkan untuk berbuka (tidak berpuasa) dan sebagai gantinya ia harus mengeluarkan fidyah. Fidyah puasa merupakan pengganti (badal) dari puasa yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan, berupa memberi makan kepada orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 260).
Adapun kaifiat atau tata cara pelaksanaan fidyah sebagaimana yang dijelaskan oleh Ustaz Shidiq al-Jawi di mediaumat.com adalah sebagai berikut.
Siapakah yang wajib mengeluarkan fidyah? Menurut Syeikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah dalam kitabnya Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, mereka yang wajib membayar fidyah ada tiga golongan; Pertama, orang-orang yang tak mampu berpuasa, yaitu laki-laki atau perempuan yang sudah lanjut usia yang tak mampu lagi berpuasa, dan orang sakit yang tak mampu berpuasa yang tak dapat diharap kesembuhannya. Dalilnya firman Allah SWT (yang artinya), ”Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (maka jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (wa ‘alalladziina yuthiiquunahu fidyatun tha’aamu miskiin) (QS Al Baqarah [2] : 184). Ibnu Abbas ra menafsirkan ayat tersebut dengan berkata, ”Ayat tersebut tidaklah mansukh (dihapus hukumnya), tetapi yang dimaksud adalah laki-laki lanjut usia (al syaikh al kabiir) dan perempuan lanjut usia (al mar`ah al kabirah) yang tak mampu lagi berpuasa, maka keduanya memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.” (HR Bukhari, Abu Dawud, Nasa`i, Daruquthni). Disamakan hukumnya dengan orang lanjut usia tersebut, orang sakit yang tak mampu berpuasa yang tak dapat diharap kesembuhannya. (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 202 & 206).
Kedua, orang yang mati dalam keadaan mempunyai utang puasa yang wajib di-qadha`. Dalam hal ini hukumnya boleh, tidak wajib, bagi wali (keluarga) orang yang mati tersebut untuk membayar fidyah. Pihak wali (keluarga) dari orang mati tersebut boleh memilih antara meng-qadha` puasa atau memilih membayar fidyah dari puasa yang ditinggalkan oleh orang mati tersebut. Pendapat bolehnya membayar fidyah bagi orang yang mati, merupakan pendapat beberapa sahabat Nabi SAW, yaitu Umar bin Khaththab, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu Abbas, radhiyallahu ‘anhum. (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 207).
Ketiga, suami yang menggauli istrinya pada siang hari Ramadhan dengan sengaja dan tak mampu membayar kaffarah berupa puasa dua bulan berturut-turut. Suami ini wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin. (HR Bukhari no 6164; Muslim no 2559). (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam, hlm. 207). Adapun bagi perempuan hamil dan menyusui, juga orang yang menunda qadha` puasa hingga masuk Ramadhan berikutnya, menurut pendapat yang rajih, tak ada kewajiban fidyah atas mereka. Mereka hanya diwajibkan meng-qadha` puasanya. (Mushannaf Abdur Razaq, no 7564, Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hlm. 210, Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 872, Yusuf Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hlm. 64).
Cara membayar fidyah dengan memberi bahan makanan pokok (ghaalibu quut al balad) kepada satu orang miskin sebanyak satu mud untuk satu hari tidak berpuasa. Jika tak berpuasa sehari, fidyahnya satu mud. Jika dua hari, fidyahnya dua mud, dan seterusnya. Mud adalah ukuran takaran (bukan berat) yang setara dengan takaran 544 gram gandum (al qamhu). Untuk Indonesia, fidyah dikeluarkan dalam bentuk beras. (Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hlm. 62, Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/687).
Menurut ulama Hanafiyah, boleh fidyah dibayarkan dengan nilainya (qiimatuhu), yaitu dalam bentuk uang yang senilai. Sedang menurut ulama jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah), tidak boleh dibayar dengan nilainya. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/687).
Kami cenderung kepada pendapat jumhur, sebab secara jelas nash QS Al Baqarah: 184 menyebutkan pembayaran fidyah adalah dalam bentuk makanan (tha’aam), sesuai firman Allah, “fidyatun tha’aamu miskin.” Selain itu membayar fidyah dalam bentuk makanan adalah apa yang diamalkan oleh para sahabat Nabi SAW, seperti Ibnu Abbas dan Anas bin Malik RA. (Imam Syirazi, Al Muhadzdzab, 1/178). Wallahu a’lam.[]