Puasa Syawal merupakan ibadah puasa sunah yang dikerjakan selama enam hari pada bulan Syawal. Puasa ini memiliki keutamaan sebagai penyempuran dari puasa Ramadan yang nilai pahalanya seperti berpuasa selama setahun penuh. Dalam sebuah hadis, Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadan kemudian dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka dia seolah-olah berpuasa selama setahun.” (HR. Muslim no. 204).
Meski umum diketahui sebagai puasa sunah, beberapa ulama ada yang berpandangan puasa Syawal hukumnya adalah makruh. Melansir dari rumahfiqih.com, berikut pandangan ulama yang berpendapat soal makruhnya puasa Syawal. Apabila diklasifikasikan, pendapat ulama tenang hal ini terbagi menjadi dua:
a. Makruh secara Mutlak
Pendapat ini dinukil dari Abu Hanifah, maksudnya baik puasa ini dilakukan secara berturut-turut maupun secara terpisah.
Namun, pendapat para ulama madzhab Hanafi ternyata berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah dalam hal ini.
Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Yusuf, beliau berkata, “Yang makruh adalah ketika dilakukan secara berturut-turut dan bukan terpisah.”
Selain itu, mayoritas ulama muta’akkhir dari madzhab Hanafi justru berpendapat bahwa puasa ini hukumnya tidak apa-apa dikerjakan.
Ibnu Abidin berkata (menukil dari pengarang kitab Al-Hidayah) dalam kitabnya At-Tajnis,
“Pendapat yang terpilih adalah bahwasanya hukum (puasa Syawal) itu tidak apa-apa dilakukan. Dahulu hukum puasa ini makruh karena khawatir ada yang menganggap puasa ini merupakan bagian dari Ramadan sehingga hal tersebut menyerupai orang-orang Nashrani. Namun, sekarang kerancuan tersebut sudah tidak ada lagi.”
Imam Al-Kâsâniy juga berpendapat bahwa hukum puasa ini menjadi makruh jika tata caranya sebagai berikut :
Berpuasa pada hari Idul Fitri (1 Syawal) kemudian dilanjutkan dengan lima hari sesudahnya. Adapun jika pada hari Idul Fitri tidak berpuasa kemudian berpuasa enam hari setelahnya, hukumnya sudah tidak makruh lagi, melainkan menjadi mustahab atau sunnah.
b. Makruh dengan Beberapa Ketentuan
Pendapat ini adalah pendapat dari Mazhab Maliki dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Bagi orang yang menganggap wajib atau ditakutkan dia akan menganggapnya wajib jika dia berpuasa.
b. Bagi orang yang menyambungnya langsung setelah puasa Ramadhan secara berturut-turut dan menampakkan bahwa dia berpuasa kepada khalayak umum.
c. Bagi orang yang meyakini tentang kesunnahan menyambung puasa ini secara langsung dengan puasa Ramadhan.
Dengan kata lain, jika tidak terdapat hal-hal di atas, hukum puasa Syawwal yang dilakukan menjadi mustahab.
Al-Hathab berkata, dia berkata di kitab Al-Muqaddimat, “Imam Malik berpendapat tentang makruhnya puasa Syawwal. Hal ini dikarenakan beliau khawatir orang-orang yang kurang ilmunya akan menganggapnya sebagai bagian dari puasa Ramadhan, padahal bukan. Adapun bagi orang yang berpuasa secara samar-samar (tidak menampakkan kepada khalayak maka dia diperbolehkan untuk berpuasa.”
Wallahu’alam bishawab. []